Minggu, 24 November 2013

flsafat islam ibnu tufail


IBNU TUFAIL
Riwayat Hidupnya
           Mengiringi masa hidup Ibnu Bajjah, mucul pula Ibnu Thufail yang biasa disebut dalam bahasa Latin dengan Abubacer. Nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Abdul-Malik bin Muhammad bin Muhammad bin Thufail Al-Qaisi, dilahirkan di Guadix dekat Granada pada tahun 506 H (1110 M.) dari keluarga suku Arab Bani Qais.
            Ibnu Thufail adalah seorang dokter, filosof, ahli matematika, ahli astronomi dan penyair, tetapi sayang hasil karyanya tidak ditemukan lagi, kecuali buku roman filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yaqzhan (si Hidup anak si Jaga) atau lebih lengkapnya yaitu Hayyu ibnu Yaqzhan fi Asrar al_hikmati’l Masyraqiyyah (Hayy bin Yaqzhan tentang rahasia filsafat timur). 
           Keahliannya dalam bidang medis telah dipraktekannya di Granada. Kemudian ketenarannya sebagai dokter itu membawa namanya lebih dikenal di dalam pemerintahannya, sehingga ia diambil oleh gubernur Granada menjadi sekretarisnya. Pada tahun 549 H. Ia pindah menjadi sekretaris pribadi gubernur Ceuta. Keharuman namanya kian semerbak, sehingga ia diangkat oleh Abu Ya’kub Yusuf Al-Manshur khalifah Daulat Muwahhidin menjadi dokter pribadi merangkap sebagai wazirnya (558-578 H.)
Khalifah Abu Ya’kub Yusuf Al-Manshur adalah seorang khalifah yang mempunyai minat besar terhadap flsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga ia banyak berhubungan dengan para filosof dan ilmuwan. Suatu waktu ia meminta kepada Ibnu Thufail untuk menguraikan buku-buku Aristoteles. Untuk memenuhi permintaan itu Ibnu Thufail menghadapkan Ibnu Rusyd kepada khalifah dan mencalonkannya sebagai pelaksana pekerjaan itu. Ibnu Rusyd diterima baik oleh khaliafah, ia pun melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Tatkala usia Ibnu Thufail sudah lanjut dan ia minta berhenti dari jabatannya sebagai dokter pemerintah (578 H), maka Ibnu Rusyd pula yang diajukan untuk menduduki jabatan tersebut. Ketika Ibnu Thufail meninggal dunia di Marokko pada tahun 581 H. (1185 M) Abu Yusuf pun ikut menghadiri pemakaman jenazahnya.  
Karya-karya Ibnu Thufail
          Sebagaimana dijelaskan bahwa tidak banyak karya Ibnu Thufail, bahkan hanya satu yang tersisa sampai hari ini, Risalah Hayy ibn Yaqzan. Berikut uraian singkat dari karya Ibnu Thufail. 
Hayy ibn Yaqzan bermakna Yang Hidup Putra Yang Bangun. Hayy ibn Yaqzan adalah tokoh utama dalam karya tulis Ibnu Thufail, tetapi sebelumnya juga sudah di pakai oleh Ibnu Sina sebagai tokoh utama dalam sebuah risalah pendeknya. Dalam risalah yang ditulis Ibnu Sina, Hayy ibn Yaqzan dilukiskan sebagai seorang syekh tua yang di tangannya tergenggam kunci-kunci segenap pengetahuan, yang diterima dari bapaknya. Syekh tua itu adalah seorang pengembara yang dapat menjelajahi semua penjuru bumi, dan disebutkan bahwa Ibnu Sina sendiri bersama kawan-kawannya, dalam suatu perjalanan, berjumpa dengan syekh tua tersebut, dan terjadilah perkenalan serta dialog. Syekh tua dengan nama Hayy ibn Yaqzan dalam karya tulis Ibnu Sina itu merupakan tokoh simbolis bagi akal aktif, yang selain berkomunikasi dengan para nabi, juga dengan para filsuf.
        Berbeda dengan versi Ibnu Sina, Hayy ibn Yaqzan dalam tulisan Ibnu Thufail, dilukiskan sebagai seorang bayi laki-laki yang berada di sebuah pulau yang belum pernah dihuni manusia. Bayi itu boleh jadi muncul karena terbentuknya percampuran tanah dan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki jiwa manusia sehingga muncullah bayi itu, atau boleh jadi, ia adalah bayi hasil pernikahan sah secara rahasia antara saudara perempuan seorang raja dengan seorang anggota keluarga istana di pulau lain. Karena takut pada raja, bayi itu dimasukkan ke dalam peti dan dilepas terapung-apung di laut. Arus gelombang membuat peti bayi itu terdampar di pulau yang belum dihuni manusia. Bayi itu disusukan dan dirawat oleh seekor rusa yang baru kehilangan bayi. Bayi yang bernama Hayy ibn Yaqzan ini dapat terus hidup dalam lingkungan binatang, dapat berkembang baik menjadi manusia dewasa, yang berbeda dengan binatang.  Akal sehatnya berkembang sedemikian rupa menurut sunnatullah sehingga ia bukan saja mempu berpikir tentang dunia fenomena, melainkan juga dapat menangkap hal-hal abstrak dan mengetahui adanya tuhan, pencipta sekalian alam. Ia bahkan dengan mata batin nya dapat merasa dekat dekan Tuhan dan merasa bahagia. Tidak jauh dari pulau itu terdapat pulau lain yang dihuni oleh satu masyarakat manusia. Namanya Absal dan Salaman, adalah penganut agama wahyu, tetapi memiliki kecenderungan yang berbeda. Absal banyak tertarik pada pengertian yang metaforis dari teks-teks agama, sedangkan salaman lebih cenderung berpegang pada arti-arti lahiriah. Sejalan dengan sikap masyarakat pada umumnya di pulau tersebut, absal kemudian mengasingkan diri dari masyarakat. Suatu hari, ia menyebrang ke pulau yang dihuni Hayy ibn Yaqzan. Keduanya berjump, dan setelah Hayy ibn Yaqzan diajari berbicara, keduanya berdialog dan saling berkisah. Hayy ibn Yaqzan dengan mudah dapat memahami dan menyetujui keterangan Absal tentang Tuhan, surga, neraka, hari kebangkitan, timbangan, dan lain-lain sebagaimana yang diajarkan oleh wahyu. Absal juga mudah memahami keterangan Hayy ibn Yaqzan tentang hasil renungan dan pengalaman rohaniahnya dengan Tuhan. Kedua insan itu saling membenarkan.
          Selanjutnya, keduanya bersepakat untuk menyebrang ke pulau yang dihuni oleh masyarakat dan dengan maksud mengajak Salaman dan masyarakat supaya beragama dengan pemahaman yang sama seperti mereka. Ternyata, salaman dan masyarakat tidak tertarik dengan pemahaman keduanya. Akhirnya, keduanya sadar bahwa masyarakat harus dibiarkan beragama dengan pemahaman seperti yang berkembang pada masyarakat itu dan tidak perlu diajak memahami agama yang dipahami mereka berdua. Mereka berdua kembali ke pulau yang tidak dihuni manusia lain, melanjutkan ibadah dan tafakur kepada tuhan seperti sebelumnya.
           Hayy ibn Yaqzan dalam tulisan Ibnu Thufail bukanlah simbol akal aktif, tetapi simbol akal manusia yang tanpa bimbingan wahyu mampu mencapai kebenaran tentang dunia fenomena serta tentang Tuhan dan alam rohaniah lainnya, dan kebenarannya tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Absal dan Salaman dapat dipandangg sebagai simbol wahyu yang dipahami dengan pemahaman yang berbeda. Absal sebagai simbol wahyu dengan pemahaman metaforis kaum sufi, sedangkan Salaman sebagi simbol wahyu yang dipahami dengan pemahaman tekstual kalangan ulama pada umumnya.
Dari ketiga tokoh tersebut tampak, bahwa Ibnu Thufail membagi pengetahuan manusia ke dalam 3 tingkatan yaitu:
Pengetahuan awam
Pengetahuan yang didapat melalui kasyaf
Pengetahuan yang didapat melalui nalar
Dari kisah simbolis diatas, dapat ditegaskan behwa pengembangan pencarian kebenaran bisa terjadi pada siapa,apa, dan dimana saja. 
Filsafat/Ajaran Ibnu Thufail
Pola Filasafatnya
Secara filosofis, karya Ibnu Thufail yaitu Hayy ibn Yaqzan merupakan suatu pemaparan yang hebat tentang teori Ibn Thufail mengenai pengetahuan, yang berupaya menyelaraskan Aristoteles dengan Neo-Platonis di suatu pihak, dan Al-Ghazali dengan Ibnu Bajjah di pihak lain. Al-Ghazali sangat kritis dan dogmatis terhadap rasionalismenya Aristoteles, tetapi Ibnu Bajjah adalah pengikut sejati Aristoteles. Ibnu Thufail mengikuti jalan tengah, menjembatani jurang pemisah antara dua pihak itu. Sebagai seorang rasionali, dia memihak Ibnu Bajjah dalam melawan Al-Ghazali dan mengubah tasawuf menjadi rasionalime. Adapun sebagai seorang ahli tasawuf, dia memihak Al-Ghazali dalam melawan Ibnu Bajjah dan mengubah rasionalisme menjadi tasawuf.
Metode-metode Al-Ghazali dan Ibnu Thufail keduanya sebagian sama, tetapi tidak seperti Al-Ghazali, ekstase Ibnu Thufail ditandai dengan suatu tekanan Neo-Platonik. Al-Ghazali, yang setia kepada sikap teologis-mistisnya, menganggap ekstase sebagai sarana untuk melihat Tuhan, tetapi bagi Ibnu Thufail, sang filsuf, visi indah mengungkapkan akal aktif dan rangkaian sebab Neo-Platonik sampai ke unsur-unsurnya dan kembali lagi kepada diri.
Risalah Hayy ibn Yaqzan yang ditulis oleh Ibnu Thufail sesungguhnya berisi berbagai rumus filsafat yang disampaikan dengan: 
lambang Hayy ibn Yaqzan sebagai lambang akal pikiran.
Absal adalah lambang dari seorang sufi,ia mengenal Tuhan nya melalui jalur agama, di samping itu ia selalu berhasrat hendak memakrifati Tuhan dengan daya rohaninya.
Sedangkan Salaman dengan masyarakat ramai adalah orang awam yang hidup memenuhi selera di samping juga menjalankan aturan-aturan formal dari agama yang mereka anut. 
Kisah tersebut bertujuan menyesuaikan filsafat dengan agama dan menyesuaikan akal pikiran dengan hukum syariat dan penjelasan mengenai jalan yang ditempuh oleh para filsuf Islam yang menganut aliran Neo-Platonisme. Nama Hayy ibn Yaqzan bermakna : Hayy, melambangkan akal manusia, sedangkan Yaqzan melambangkan Tuhan.
Tuhan dan Kekekalan Alam

Apakah dunia itu kekal, atua diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Ibnu Thufail sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tapat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya, juga ridak berusaha mendamaikan mereka. Dipihak lain, ia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologisnya. 
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebalum ketidak-maujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tetapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Ibnu Thufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini. Anatomi ini dengan jelas meramalkan sikap para pengikut Kant bahwa nalar ada batasnya dan bahwa argumrntasinya akan mendatangkan kontradiksi yang membingungkan.
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat-laun itu mensyaratkan adanya satu Pencipta sebab dunia tidak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta meski bersifat immaterial sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu Pencipta. Dunia ini pasti mempunyai Pencipta yang tidak berwujud benda. Dan karena itu, dia bersifat immaterial, kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indra kita maupun lewat imajinasi sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indra. 
Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, dan percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi, tetapi tidak dalam hal waktu. Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Thufail mempeertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia itu bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan. Mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercayai oleh Al-Ghazali, Ibnu Thufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal ataupun berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. 

Materi dan Jiwa

Setelah mendidik indra dan akal serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Thufail akhirnya berpaling pada disiplin jiwa, yang membawa pada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya didalan esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal, serta jiwa. Oleh karena itu, pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.
Ibnu Thufail mengambil argumen Aristoteles bahwa materi adalah prinsip individuasi dan bahwa entitas-entitas intelektual, seperti bentuk-bentuk Plato, karenanya mempunyai aritmetika yang problematis sebagai sejenis asas pemakaian yang bertentangan dengan penyatuan pemikiran, pemikir,dan objek pemikiran oleh Aristotelian. Ia sepakatbahwa pikiran adalah apa yang diketahui oleh pikiran itu. Akan tetapi, berkenaan dengan hal-hal yang intelektual, tidak ada kesatuan atau perbedaan. Ibnu Thufail menyebarkan gagasan Plotinus, dan Ibnu Thafail bersandar pula pada gagasan Ibnu Bajjah tentang rekonsiliasi keabadian individu Ibnu Sina. 
Dengan kata lain, materi dan jiwa bisa dibedakan, tetapi tidak selalu menyatu---ia bersifat fungsional semata. Dengan tegas, Ibnu Thufail mengungkapkan bahwa di sini pun sebuah esensi terbebas dari meteri, bukan esensi yang sama dengan yang telah ia lihat, tetapi bukan yang lain.

Pengaruh Filsafat Ibnu Thufail terhadap Peradaban Manusia
pengaruh karya nya terhadap generasi berikutnya di Barat begitu besar sehingga karya tersebut dianggap sebagai “salah satu buku oaling mengagumkan dari Zaman Pertengahan”. Bahkan karya itu disamakan dengan Arabian Nights; mengenai metodenya, ia bersifat filosofis sekaligus mistis. Selanjutnya, pengembangan dan pelanjut karya ini diteruskan oleh muridnyaIbnu Thufail, Abu Ishaw Al-Bitruji dan Abu Al-Walid Ibnu Rusyd adalah yang paling menonjol. Dia berada di barisan depan dalam bidang astronomi lewat Al-Bitruji yang teorinya tentang “gerakan-spiral” (harkat laulabi) menandai “puncak gerakan Muslim anti-Ptolomeus” dalam bidang filsafat, pengobatan, dan hukum dilanjutkan oleh Ibnu Rusyd.


DAFTAR PUSTAKA
Poerwantana. 1988. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Juhaya dan Praja. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Basri, Hasan. Filsafat Islam. Bandung: CV Insan Mandiri.
Ali, Yunarsih. 1991. Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Syarif. 1993. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar